Selasa, 07 April 2009

Untung-Rugi Beli Revo, Pulsar, dan V-Ixion

Kali ini KafeMotor menerima kiriman tulisan soal pengaruh strategi penetapan harga oleh produsen terhadap nilai yang dipersepsi dan kerelaan konsumen membelanjakan dana untuk menebus sebuah motor. Tanya-ken(a)-apa?



Pricing Strategy vs Perceived Value dan Willingness to Pay oleh Egomaniac

Membahas pricing strategy pabrikan motor di Indonesia memang menarik. Bicara strategi penerapan harga erat dengan perceived value dan willingness to pay dari konsumen.

* Perceived value: nilai atas suatu objek yang ditangkap oleh panca indra.
* Willingness to pay: kesediaan untuk mengorbankan sesuatu kepuasan (utility) demi memperoleh kepuasan lain, berdasarkan suatu ukuran perceived value. Simpelnya, kesediaan untuk membayar suatu objek yang sudah kita nilai.

Hubungan perceived value berbanding lurus dengan willingness to pay. Semakin tinggi perceived value semakin besar willingness to pay, dan berlaku juga kebalikannya.

Motor Honda menurut asumsi AHM memiliki perceived value yang tinggi (irit, nilai jual kembali yang tinggi, jaringan after sales dan spare part yang luas), sehingga willingness to pay-nya akan besar, maka AHM menerapkan harga premium pada produk-produknya.

Cerita di atas adalah profil Honda beberapa tahun lalu saat pilihan merek lain tidak menawarkan nilai tambah yang lebih baik. Sekarang market dan konsumen berubah, istilahnya ada perubahan preferensi. Konsumen tidak lagi semata-mata tertarik pada irit dan nilai jual kembali. Nilai tambah lain yang menjadi preferensi konsumen antara lain speed, model (desain), kelengkapan motor (speedometer, shock, pelek, dll), dan harga yang lebih terjangkau.

Perceived value Honda turun (karena tidak menawarkan nilai tambah baru), willingness to pay turun, tapi harga motornya malah naik. Hasil: penjualan AHM turun konsisten sejak awal tahun ini.

Perceived value Yamaha naik, willingness to pay naik, harga motor di bawah Honda. Hasil: penjualan YMKI konsisten naik dan berhasil menjadi market leader baru-baru ini.

Bravo untuk Yamaha Indonesia! AHM please learn from your mistake!

Kasus V-Ixion

YMKI dengan lihai memainkan strategi pre-rilis yang tepat, sehingga terbaca perceived value dari calon konsumennya. Kehebohan dan gaung yang sedemikian besar menunjukkan perceived value yang tinggi untuk motor ini dan betapa besar sebenarnya market untuk motor laki-laki kelas 150 cc-180 cc dengan range harga 16-18 jt saat ini.

Nah para calon buyer V-Ixion yang kecewa karena harga rilis beda dengan harga pre-rilis mungkin harus berbesar hati. Karena produsen (YMKI) akan selalu berpikiran untuk memperoleh margin setinggi mungkin, melihat sambutan (perceived value) yang demikian tinggi atas pre-rilis, maka ia menerapkan pricing rilis > pre-rilis. Hal di atas sudah merupakan logika ekonomi.

Artinya percuma kesal pada YMKI karena harga V-Ixion naik. Salahkan media yang meng-create hype demikian besar untuk motor ini. Salahkan juga AHM yang bertahan keras kepala meng-over priced produknya sehingga konsumen kesal dan pada puncaknya akan beralih pada produk apapun yang bisa menawarkan lebih (emosi yang bikin tidak rasional lagi). Sehingga potensial demand yang tercipta melebihi potensial Supply dari YMKI. Hasilnya harga V-Ixion akan naik.

Kalau anda berkeputusan tidak akan membeli, berarti willingnes to pay anda tidaklah setinggi value yang anda berikan pada V-Ixion ini.

Perceived Value vs Willingness to Pay

Konsumen memilih berdasarkan perceived value-nya, tapi keputusan untuk membeli akan dieksekusi saat percieved value seorang individu sebanding dengan willingness to pay-nya. Seorang konsumen yang rasional akan memaksimalkan kepuasannya (utility-nya) lewat percieved value, berdasarkan willingness to pay yang ia miliki.

Apabila percieved value produk X sudah tinggi, tapi willingness to pay-nya tidak setara dengan harga X di dealer, konsumen tidak akan membeli.

Jadi willingness to pay sangat-sangat penting, karena ujung-ujungnya duit juga jadi pertimbangan. Honda TigerRevo memiliki perceived value yang cukup tinggi sehingga sebenarnya banyak orang yang berminat untuk motor ini. Tapi willingness to pay konsumen untuk Tiger Revo tidaklah setinggi harga yang dibebankan AHM untuk motor ini. (Tidak banyak orang yang bersedia membayar 22.5 juta untuk motor ini).

Apabila tiger Revo dijual tidak lebih dari 20 juta, mungkin situasinya bisa berubah. (Tapi jelas ini tidak mungkin, karena versi sebelumnya saja sudah lewat angka 20 juta).

Penerapan premium pricing harus diimbangi dengan peningkatan perceived value. Apabila ini tidak terjadi, premium pricing strategi itu akan gagal, alias produk tsb akan kurang laku di pasaran. Sayangnya Tiger Revo saat ini adalah contoh penerapan strategi premium pricing yang tidak tepat (kalau tidak bisa dibilang gagal).

Sebagai produk premium, ia tidak memiliki nilai tambah lebih dibanding pesaing. Yang memposisikannya pada tempat dengan perceived value di bawah pesaing. Untuk menjaga market penggemar Tiger sudah seharusnya AHM memikirkan nilai tambah apa yang harus dimasukkan pada spesifikasi tiger Revo yang sebanding dengan kelas Tiger Revo sebagai produk premium.

Contoh premium pricing yang sukses dijalani oleh pabrikan Ducati untuk produk-produk massalnya. Ducati Sport kelas 900 - 1000 cc (seri 916) adalah Top of Brand dari seri motor sport jalan raya. Menggabungkan exclusivitas, performance (speed ‘n power), dan design. Ducati ibarat Ferrari-nya kendaraan roda dua.

Harganya mencapai 3 X lipat harga motor keluaran Jepang (Honda or Yamaha) pada kelas cc yang sama. Jadi memang produk mahal nan exclusive. Tapi bila kita baca review dari pemakai Ducati, bisa kita katakan kepuasan dari pemakai memang berkali-kali lipat bila dibandingkan dengan kepuasan memakai motor-motor Jepang.

Premium Pricing: Price must Equal Satisfaction
Tiger Revo: Price eventually did not equal Satisfaction.

Discount Pricing sebagai Entry Strategy

Contoh kasus Bajaj Pulsar 180, dengan kondisi harga sekarang prinsipal menerapkan discount pricing, karena perceived value yang ditawarkan sedemikian tinggi (speed, irit, model, kelengkapan), tapi harga yang dibebankan cukup rendah.

Nilai tambah yang dimiliki motor ini cukup tinggi sehingga sebenarnya konsumen bersedia untuk membayar lebih dari harga yang prinsipal tawarkan. Hal ini terbaca karena banyaknya komentar-komentar yang muncul menyatakan betapa murah harga produk ini (dengan spek yang ditawarkan).

Tapi strategi ini cukup beresiko, karena murah seringkali tidak diasosiasikan dengan kualitas (ketahanan). Contoh: motor Cina. Tapi produk mahal juga pada kenyataannya tidak berarti bernilai tinggi. Contoh: Tiger Revo.

Maka Bajaj Pulsar coba memposisikan diri sebagai motor bagus dengan harga bersaing. Membuat konsumen untuk berpikir, dengan perceived value yang hampir sama, untuk apa saya membayar mahal untuk sebuah motor, padahal ada yang lebih murah.

Sejauh ini strategi Bajaj Indonesia mulai membuahkan hasil. Pulsar 180 mulai dicari orang dan peralihan dari Revo ke Pulsar atau Megapro ke Pulsar mulai terjadi. Sayangnya sebagai pemain baru, jaringan dealer dan after salesnya tidak setara dengan AHM, sehingga market share yang diambil alih tidak akan spektakuler dalam jangka waktu yang singkat. Apabila Pulsar dikeluarkan oleh Yamaha, maka sangat mungkin terjadi market share Megapro dan Tiger Revo diambil alih Yamaha dengan tuntas tas tas tas.

Notes :
Sebagai entry strategy, discount pricing tentunya tidak dijalankan sebagai strategi jangka panjang. Jadi mungkin tak akan lama lagi Bajaj akan mengumumkan kenaikan harga Pulsar 180-nya. Angka 17.5 -18 jt rasanya cukup membuat motor ini tidak lagi disebut motor murah, tanpa membuat kabur calon konsumen yang sudah jatuh hati pada sang Pulsar, tapi bersikap menunggu Pulsar mulai banyak alias menunggu kredibilitas Bajaj terbukti dulu.

0 comments:

Posting Komentar